Home » Renungan » Perjumpaan Yang Mengubahkan

Perjumpaan Yang Mengubahkan

Roma 5:1-11; Yohanes 4: 5-42

Perjumpaan berangkat dari kata dasar jumpa yang artinya berpandangan, bertemu muka, bersua atau berhadapan. Sementara itu berjumpa berarti ada pertemuan dan terjadi sikap saling bertatap muka, saling memandang dan interaksi. Mungkin hanya kontak mata dan hati yang bicara (menangkap kesan), namun demikian bisa jadi terdorong untuk meneruskan dalam bentuk percakapan mendalam. Perjumpaan merujuk pada sebuah kondisi yang terjadi dan mengharuskan seseorang saling bertemu muka, berhadapan dan tersedia ruang untuk berinteraksi mendalam. Demikianlah dalam berelasi dengan siapapun sebagai makhluk sosial yang hidup dalam masyarakat yang majemuk, sangat mungkin terjadi perjumpaan dengan siapapun dan dalam kondisi apapun, baik dalam konteks keseharian hidup maupun melalui media sosial. Di dalam perjumpaan selalu terbuka kemungkinan dan kesempatan terjadinya banyak hal, baik yang berpengaruh positif maupun negatif.

Perjumpaan dapat mengubah sikap seseorang makin kuat dalam relasi sosialnya. Salah satu ukuran keberhasilan dalam berelasi sosial dan berdialog dengan masyarakat yang majemuk menurut Muhamad Ali (2003) yaitu menguatnya aspek “social trust”, yakni kepercayaan kedua belah pihak yang tumbuh secara natural oleh karena dua syarat yang sudah terpenuhi. Pertama, “rasa percaya” pada yang lain sekalipun berbeda latar belakang dan keagamaannya. Kedua, sikap “percaya diri” dalam menjalani kehidupan religiusitas keagamaannya sehari-hari, tanpa lagi berada dalam bayang-bayang dikotomi mayoritas-minoritas di masyarakat. Demikian juga sikap terbuka terhadap tetangga yang berbeda, mau mendoakan sekalipun berbeda agama dan budaya, mau mengucapkan selamat kepada yang berbeda, dan yang terpenting mau bekerjasama untuk mengatasi persoalan kemanusiaan bersama-sama.

Jika indikator yang demikian sudah ada di lingkungan tempat tinggal dan bergereja kita, maka semangat pluralitas dan keteguhan berdiri atas keyakinan iman dalam beragama secara toleran sudah terjadi. Bahan khotbah Minggu Pra Paska berikut hendak mengajak jemaat untuk menyadari bahwa konteks tinggal dan ruang lingkup perjumpaan sebagai pengikut Kristus memang plural. Oleh karena itu memiliki sikap percaya diri dalam beriman pada Yesus Kristus menjadi penting dalam setiap perjumpaan sosial. Selain itu perlu upaya mengembangkan rasa percaya pada yang lain (the other), bahwa mereka pun akan menerima perbedaan keyakinan, yang pada akhirnya tidak ada saling menghakimi, melainkan dapat saling menghormati perbedaan.

Belajar dari peristiwa Rafidim (Keluaran 17:1-7; konflik internal dalam komunitas yang homogen), yaitu tentang persoalan pemenuhan kebutuhan dasar, dan cara melibatkan otoritas ilahi sebagai pemecahan masalahnya. Ini adalah model singular dalam perjumpaan. Model yang bersifat satu arah, yakni kuasa otoritas tertinggi sebagai pengambil keputusan dan pemberi solusi.

Belajar dari peristiwa dialog mendalam Yesus dan perempuan Samaria (Yohanes 4:5-42) – titik temu dialogis dalam komunitas yang heterogen), yaitu terciptanya solusi bersama untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan juga tentang spiritualitas hidup. Cara Yesus melibatkan orang yang berbeda tradisi dan pandangan, baik dalam budaya maupun kepercayaan, untuk turut serta mengusung misi Kerajaan Allah, merupakan model multiple dialogis dalam perjumpaan. Di situ terjadi perjumpaan antara perempuan Samaria dengan Yesus, dan Perempuan Samaria dengan masyarakat Samaria dan Yahudi.

Aspek psikologis yang ditimbulkan dari perjumpaan yang bersifat singuler yakni menggantungkan diri pada otoritas tertinggi yang memimpinnya. Jika situasi dan masalahnya muncul lagi maka kecenderungan komunitas yang demikian akan menyalahkan siapa yang menjadi pemimpinnya. Sementara itu secara psikologis dampak dari perjumpaan yang bersifat multiple dialogis adalah sebaliknya. Di situ ditemukan pencerahan, kemandirian dan keteguhan diri dalam mengambil keputusan dan solusi terbaik justru bersama dengan orang lain dalam perbedaan yang ada. Sebab dalam dialog yang terarah, dibarengi dengan munculnya rasa percaya terhadap hasil pengalaman diri sendiri yang otentik tersebut membuat seseorang memiliki keberanian untuk berbicara tentang kebe-naran dimanapun, kapanpun dan di tengah masyarakat mana-pun. Karena ketika ia sendiri mengalami penerimaan maka muncul kemampuan berdialog dan menemukan satu titik temu percakapan yang sama dalam kehidupan.

Bagaimana memiliki keberanian berbicara tentang pengalaman iman otentik akan Yesus di tengah masyarakat majemuk? Menemukan gaya bersaksi yang elegan sebagaimana perempuan Samaria lakukan:

1. Mulai dari diri sendiri, membuang sekat pembeda yang ditimbulkan oleh karena stigma sosial yang negatif akibat sejarah masa lampau, dengan menuliskan sejarah hidup diri sendiri (self story). Berproses menemukan apa hakikat hidup dan tujuannya di dunia yang dipijak selama ini. Inspirasi perempuan Samaria menjadi model pencapaian pencerahan diri: semula dia hanya melihat seorang manusia yang haus, lalu seorang Yahudi, lalu seorang rabi, kemudian seorang nabi, akhirnya Mesias. Dia berusaha untuk mengalahkan orang haus itu, dia tidak senang dengan orang Yahudi itu apalagi mem-bongkar rahasia hidupnya dan perkawinannya. Dia mengejek rabi itu, tetapi akhirnya dia dimenangkan oleh nabi itu. Dia menerima Yesus sebagai Mesias. Inilah self-awareness (kesadaran diri).

2. Menyampaikan pengalaman iman pribadi di ling-kungan terdekat. Perempuan Samaria memilih caranya sendiri untuk menceritakan pengalaman imannya dengan Yesus yakni di lingkungan sukunya sendiri. Tentu ia lebih paham tradisi, kebiasaan dan hal-hal yang memudahkan baginya menjadi pintu masuk untuk berdialog hingga menyentuh aspek keimanan mendalam tentang Mesias.

3. Komitment untuk menjadi pewarta iman di tengah masyarakat majemuk secara jujur sebagai jembatan perjumpaan. Yesus menjadi inspirasi positif, bagaimana menjadi jembatan dialog di tengah masyarakat majemuk, melalui cara-Nya yang elegan. Memilih orang yang tepat sebagai rekan dialog, dan memberi kepercayaan penuh kepadanya dengan sikap yang percaya, mendorong yang bersangkutan percaya diri (self-trust) apapun kenyataan hidupnya, dan akhirnya memiliki keberanian untuk menggunakan pendekatan lokalitasnya atas penemuan makna baru dengan Yesus sebagai topik percakapan dengan yang lain (the other).

Bagikan :



Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Agenda Kegiatan

Ibadah Minggu Online : Setiap Hari Minggu jam 08.00 WIB livestreaming di channel Youtube GKJ Wonosari Gunungkidul dan Radio Swara Dhaksinarga 89,9 FM

Persekutuan Doa Rabu Pagi : Setiap Hari Rabu jam 04.30 WIB di Gedung Gereja