Matius 21:1-11
Di tengah zaman yang penuh kompetisi seperti sekarang ini, sangatlah sulit untuk menemukan orang yang rendah hati. Bahkan, mungkin telah ada keraguan bagi sebagian orang bahwa rendah hati sudah tidak relevan lagi pada zaman ini karena dianggap sebagai penghalang keberhasilan, sehingga “rendah hati” mulai ditinggalkan oleh manusia.
Keinginan sebagian besar orang untuk “menjadi seseorang” (to become someone) dan penolakan untuk menjadi “bukan siapa-siapa” diduga menjadi penyebabnya. Ada dorongan yang sangat kuat dalam diri setiap orang untuk menjadi penting, menjadi berarti dan mendapat pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Akibatnya, terjadi persaingan yang sangat ketat untuk menjadi penting dan berarti itu.
Pandangan Kristen tentang kerendahhatian sudah sangat jelas. Yang menjadi dasar sikap rendah hati dalam pandangan Kristen adalah diri Kristus sendiri, mulai dari kerendahan dalam kelahiran-Nya di kandang domba, kerendahan dalam sikap sehari-hari di masa hidup-Nya hingga kerendahan dalam pengorbanan-Nya di Kayu Salib. Kerendahan hati Kristiani juga bersifat paradoks sebagaimana Kristus katakan: “Barangsiapa terbesar di antara kamu, hendaklah ia menjadi pelayanmu. Dan barangsiapa meninggikan diri, ia akan direndahkan dan barangsiapa merendahkan diri, ia akan ditinggikan” (Mat 23: 11-12). Yakobus menegaskan ini dalam Yak 4: 10, “Rendahkan-lah dirimu di hadapan Tuhan, dan Ia akan meninggikan kamu”.
Peristiwa yang disebutkan dalam perikop ini terjadi pada waktu orang-orang Yahudi berarakan menuju ke Yerusalem untuk merayakan pesta Paska Perjanjian Lama yaitu pesta peringatan akan pembebasan bangsa Israel dari Mesir. Dalam peziarahan dari Yerikho ke Yerusalem yang memakan waktu sekurang-kurangnya tujuh jam itu muncullah percakapan-percakapan tentang siapakah Yesus. Mereka mempercakapkan apakah Yesus adalah Mesias yang dijanjikan oleh Allah untuk membebaskan bangsa Israel dari penjajahan bangsa Romawi ataukah yang lainnya. Pengharapan bahwa Yesus adalah pahlawan yang akan berperang dengan senjata kemenangan untuk mengalahkan bangsa Romawi menjadi begitu kuat dalam arakan peziarahan itu karena mereka pada saat itu juga sedang mengenang peristiwa pembebasan bangsa Israel dari Mesir.
Di tengah-tengah situasi yang semacam itu, Yesus yang tidak biasanya bertindak “demonstratif“, saat itu Ia melakukannya. Ia mengendarai seekor keledai muda dan diarak oleh para murid dan orang banyak pada saat itu. Dengan tindakan-Nya ini Yesus hendak menunjukkan bahwa Ia adalah Mesias, yang datang dengan lemah lembut dan dengan mengendarai seekor keledai, bukan dengan mengendarai kuda, yang selalu dipakai dalam perang. Yesus tidak datang dengan kekuatan senjata melainkan dengan tindakan kasih. Ia menyatakan kepada banyak orang bahwa Ia adalah Raja Israel, Raja Damai yang memberitakan damai kepada bangsa-bangsa (Za. 9:9,10). Dengan tindakan-Nya yang berani ini, Yesus hendak menen-tang para pemimpin Israel yang tidak mengakui-Nya sebagai Mesias. Ia juga berani menentang orang-orang Israel yang ingin agar Ia membasmi orang Romawi. Amin.