(Lukas 13:1-9)
Menghakimi seseorang atau kelompok tertentu karena perbedaan keyakinan atau mazhab seringkali dengan terlalu mudah dilakukan oleh orang yang mengaku beriman. Sisi lain dari penghakiman terhadap kelompok lain adalah pembenaran terhadap diri sendiri. Mungkin kita masih ingat, gereja di Palu yang berdiri kokoh saat gempa hebat terjadi beberapa waktu lalu. Segera saja viral banyak komentar yang menunjukkan bahwa Tuhan mengasihi umat-Nya. Hal itu terbukti melalui tetap kokohnya gereja itu berdiri. Sebuah pemikiran yang bukan hanya menyempitkan kasih Tuhan, tetapi juga menjadikan Tuhan sebagai sosok keji tak berperikemanusiaan pada kelompok lain.
Ketika Tuhan Yesus berkarya di antara manusia, hal yang sama juga terjadi. Dalam Injil Lukas pasal 13 diceritakan bahwa pada waktu itu beberapa orang datang pada Yesus dan menyampaikan berita tentang orang-orang Galilea yang darahnya dicampur Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Rupanya orang-orang yang datang pada Yesus dan menyampaikan berita itu menganggap bahwa orang-orang Galilea adalah para pendosa. Karena itu mereka merasa bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh Pilatus pada orang-orang Galilea sebagai sebuah ganjaran atas kehidupan orang Galilea. Mendengar para murid menyampaikan hal itu, Yesus berkata, “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian” (Luk. 13:2-3). Bertobat adalah ajakan Yesus pada semua orang agar senantiasa mawas diri dan menghindari diri dari syak wasangka. Melalui permenungan firman Tuhan pada Minggu Pra-Paska III ini umat diajak untuk menghindarkan diri dari pemikiran buruk, syak wasangka, dan mendiskreditkan sesama atas nama apapun. Proses yang harus dilalui adalah dengan jalan pertobatan. Pertobatan merupakan anugerah Tuhan. Oleh karena itu, pertobatan haruslah menghasilkan buah.
Untuk memahami teks Lukas 13:1-9 ini, kita mesti melihat teks sebelumnya, saat Yesus berhadapan dengan orang-orang yang disebut-Nya tidak mampu menilai zaman (Luk. 12:54-59). Pada saat itu Yesus menyampaikan pesan pada orang-orang yang tidak mampu menilai zaman, agar mereka mengubah cara hidup. Lalu datanglah beberapa orang kepada Yesus menceritakan kejadian yang rupanya menjadi viral di tengah masyarakat.
Lukas pasal 13:1-2 menceritakan tentang orang-orang Galilea yang darahnya dicampur Pilatus dengan darah korban yang mereka persembahkan. Rupanya orang-orang yang datang pada Yesus dan menyampaikan berita itu menganggap bahwa orang-orang Galilea adalah para pendosa. Karena itu mereka merasa bahwa pembunuhan yang dilakukan oleh Pilatus pada orang-orang Galilea sebagai sebuah ganjaran atas kehidupan orang Galilea.
Pemahaman masyarakat yang menilai bahwa seseorang atau sekelompok orang yang mengalami kematian dengan cara naas, sebagai sebuah kutuk atau hukuman dari Tuhan, rupanya sudah ada sejak zaman dulu. Di mata mereka, orang-orang yang mengalami peristiwa naas itu tidak cukup hanya dihakimi karena penderitaan fisik atau mengalami kematian saja, melainkan juga menerima stigma tertentu.
Melihat para murid dengan pemahamannya itu, Yesus menyampaikan beberapa pemahaman teologis yang penting untuk dihayati setiap pengikut Yesus. Ia berkata, “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya dari pada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! kata-Ku kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa atas cara demikian” (Luk. 13:2-3). Dari perkataan Yesus itu, kita menemukan pesan: kematian akan dialami setiap orang. Bahwa proses kematian itu akan seperti apa (kecelakaan, bencana dan sebagainya), hal itu tidak menunjukkan keberdosaan seseorang. Di sini rupanya Yesus mulai menunjukkan bagaimana nantinya Ia sendiri akan mengalami kematian. Penderitaan dan salib adalah jalan derita yang akan dialami Yesus. Dengan kata lain Yesus hendak mengatakan “ndak usahlah kamu repot-repot mengurusi hal-hal seperti itu.” Seperti apapun cara seseorang mati, tidak perlu dipersoalkan, apalagi dijadikan sarana menunjukkan keberdosaan orang lain. Pernyataan itu dilanjutkan dengan ajakan pertobatan, “Sebab bila kamu tidak bertobat, kamu akan binasa atas cara demikian.” Pertobatan merupakan langkah pembaruan hidup.
Orang-orang itu diajak bertobat dari sangkaan-sangkaan terhadap orang lain. Musibah bisa dialami oleh siapa saja. Untuk memperjelas ajakan orang-orang itu, Yesus mengajak mereka melihat kejadian kecelakaan yang menimpa delapan belas orang yang mati tertimpa menara di dekat Siloam. Kejadian itu terjadi di dekat bait Allah. Menara di dekat bait Allah itu runtuh dan menimpa banyak orang hingga menewaskan delapan belas orang. Apakah mereka yang mengalami kecelakaan itu kesalahannya lebih besar daripada orang-orang lain yang tinggal di Yerusalem? Sekali lagi Yesus menjawab: “Tidak! Jika kamu tidak bertobat, kamu semua akan binasa dengan cara yang demikian” (Luk. 13:5).
Bertobat adalah ajakan Yesus pada semua orang agar senantiasa mawas diri dan menghindari diri dari syak wasangka. Kapan pertobatan dilakukan? Kita bisa belajar melalui perumpamaan tentang pohon ara yang tumbuh di kebun anggur. Pohon ara itu tidak berbuah pada saat semestinya menghasilkan buah. Perumpamaan ini unik. Kebun anggur biasanya digarap dengan intensif dan kesuburannya sangat dijaga. Bila pohon ara ditanam dilahan subur tidak menghasilkan buah, maka pohon ara itu bisa dianggap pohon yang tidak bagus. Dalam perumpamaan itu tuan pemilik kebun memerhatikan bahwa tiga tahun lamanya pohon ara tidak menghasilkan buah. Karena itu si pemilik kebun meminta pada penjaganya agar menebang pohon ara. Namun si penjaga kebun meminta kesempatan pada tuannya. Ia akan bekerja keras mencangkul, memupuk tanah di sekitar pohon ara. Siapa tahu tahun depan dapat berbuah. Bila tidak, pohon itu akan ditebang. Perumpamaan ini menunjukkan bahwa pohon ara itu memperoleh banyak kesempatan, namun tidak dipergunakan dengan baik. Kesempatan pertama, bertumbuh di lahan (lingkungan) baik. Kesempatan kedua, pohon itu masih mendapat kesempatan untuk berbuah. Kesempatan itu adalah anugerah bagi yang menerimanya.
Pertobatan merupakan upaya untuk mengubah hidup. Dalam upaya berubah, terdapat proses yang mesti dijalani. Setiap proses merupakan kesempatan. Melewatkan kesempatan sama dengan membiarkan diri tidak menghasilkan buah. Orang-orang yang datang pada Yesus menerima ajaran bahwa ada kesempatan untuk bertobat. Maka segeralah bertobat sebab bila tahun depan tidak berbuah, pohon itu akan ditebang (Luk. 13:9). Syukurilah anugerah pertobatan dalam hidup.
Pertobatan merupakan anugerah Allah. Hal itu diawali dari diri sendiri. Seseorang yang ingin hidup dalam pertobatan tidak perlu menuntut orang lain bertobat terlebih dahulu. Pertobatan merupakan sebuah proses seiring dengan berjalannya kesempatan supaya seseorang berbalik arah menuju jalan yang benar dan tidak mengulangi kesalahannya. Bertobat dari menilai, menghakimi, dan mempertontonkan kesalahan sesama bukan merupakan hal mudah. Sifat manusia yang senang melihat orang lain susah dan susah melihat orang lain senang, sepertinya melekat dalam hidup banyak orang, termasuk dalam diri orang percaya. Seruan Yesus agar setiap orang segera bertobat sebagaimana dalam Injil Lukas 13:1-9 menjadi refleksi di minggu Pra-Paska III. Buah pertobatan adalah kebiasaan-kebiasaan baik dalam hidup sehari-hari. Amin.