Home » Renungan » Berkarya Bagi Negeri

Berkarya Bagi Negeri

Lukas 13:10-17; Ibrani 12:18-29

Dalam konteks hidup berbangsa dan bernegara yang masih menghadapi banyak permasalahan sosial ekonomi, kemiskinan, kekerasan, perdagangan manusia (human trafficking), dll, gereja diundang untuk mewujudkan keterlibatannya mengatasi persoalan-persoalan tersebut. Gereja sebagai kumpulan para murid Kristus tidak dapat hanya berpangku tangan, menjadi penonton dan sibuk dengan dirinya sendiri berupa ritual-ritual keagamaan saja. Gereja dipanggil untuk keluar, melakukan sesuatu yang membawa perubahan positif bagi kehidupan masyarakat kita.

Namun demikian di tengah zaman perkembangan teknologi informasi, media sosial saat ini Gereja juga perlu terus menerus merefleksikan keterlibatannya, supaya bukan sekadar terlibat agar dapat di-posting dan dilihat banyak orang, lalu menjadi puas karena sudah “merasa” melakukan sesuatu. Keterlibatan Gereja harus sungguh-sungguh sehingga mampu mentransformasikan kehidupan masyarakat. Melalui permenungan hari ini, umat dIajak untuk menggumuli hal tersebut. Mewujudkan kesalehan sosial dengan sungguh-sungguh.

Dalam Ibrani penulis menunjukkan adanya perbedaan mengenai persekutuan antara Allah dengan umat dalam Perjanjian Pertama (Perjanjian Lama) dan Perjanjian Baru. Ayat 18–21 berbicara mengenai persekutuan antara Allah dengan umat pada masa Perjanjian Pertama. Allah digambarkan hadir dengan kemahadhasyatanNya sehingga tidak ada satu pun umat, bahkan binatang boleh untuk datang lebih mendekat. Hanya orang pilihan-Nya (Musa dalam kisah di Gunung Sinai) yang diperbolehkan untuk datang mendekat. Bahkan Musa pun merasa takut dan gemetar (ayat 21). Begitu pula persekutuan di Bait Allah, ada jarak antara Allah dengan umat. Sementara itu dalam Perjanjian Baru, Yesus sang Imam Besar menjadi pengantara relasi Allah dengan umat, sehingga menjadi lebih dekat. Ayat 22–24 menggambarkan persekutuan ini sebagai pertemuan meriah anak-anak sebagai ahli waris Kerajaan Sorga. Persekutuan hangat dalam keluarga lebih tepat merepresentasikan gambaran ini. Persekutuan Allah dengan umat dalam Perjanjian Baru merupakan persekutuan yang hangat, penuh cinta kasih, meriah layaknya relasi dalam sebuah keluarga.

Oleh karena itu, penulis surat Ibrani mengajak umat yang telah menyerahkan kehidupannya kepada Allah senantiasa mendekatkan diri, tidak menjauhkan diri dari persekutuan dengan Allah, senantiasa mendengarkan firman Allah dan tidak menolaknya. Bagaimana hal ini diwujudkan? Ayat 28 menegaskan bahwa umat mewujudkan persekutuan dengan Allah dalam ucapan syukur dan beribadah menurut cara yang berkenan kepada-Nya, dengan hormat dan takut. Ibadah yang berkenan kepada Allah Ialah iman yang mewujud dalam sikap hidup sehari-hari.

Yesus tampil di rumah ibadat untuk mengajar pada hari Sabat. Ia tidak hanya mengajar secara lisan, melainkan juga memberikan pengajaran melalui teladan secara langsung. Yesus menyembuhkan seorang perempuan yang telah dirasuki roh selama 18 tahun sehingga tubuhnya lemah dan menderita. Melihat apa yang dilakukan Yesus, kepala rumah ibadat justru marah. Namun Ia tidak berani melampiaskan kemarahannya kepada Yesus maupun perempuan itu secara langsung, sehingga Ia menggunakan orang-orang banyak sebagai objek kemarahan. “Ada enam hari untuk bekerja. Karena itu datanglah pada salah satu hari itu untuk disembuhkan dan jangan pada hari Sabat”(ayat 14c).

Perkataan ini menunjukkan kecenderungan kepala rumah ibadat dan kebanyakan orang-orang Yahudi yang lebih mementingkan ritual, kesalehan pribadi namun tidak memiliki kepedulian terhadap realitas sosial yang dialami oleh sesamanya. Selain itu sikap yang dilakukan oleh kepala rumah ibadat ini mengingatkan tentang kecenderungan banyak orang yang menempatkan orang-orang kecil hanya sebagai objek penderita, seringkali dibungkam dan dimanfaatkan sebagai alat demi kepentingan pribadi dan golongan. Tak jarang mereka dipersalahkan dan dikorbankan.

Yesus pun merasa miris dan geram atas sikap dan perkataan kepala rumah ibadat, sehingga Ia menjawab dengan kata-kata yang agak kasar “hai orang-orang munafik….”(ayat 15). Yesus mengetuk hati nurani dan akal sehat mereka dengan menunjukkan kenyataan yang biasa mereka lakukan pada hari sabat yaitu melepaskan lembu atau keledai untuk dibawa ke tempat minum/ makan. Artinya mereka juga melakukan suatu pekerjaan. Bagi Yesus hal ini tidak masuk akal. Melakukan pekerjaan memberi makan/minum ternak pada hari Sabat ditoleransi, sementara menyembuhkan seorang perempuan yang merasakan penderitaan hebat selama 18 tahun justru ditolak. Padahal perempuan ini bukanlah orang asing, melainkan saudara mereka sendiri sesama keturunan Abraham. Seolah hewan ternak jauh lebih berharga ketimbang nyawa sesama. Keterikatan mereka terhadap aturan agamawi membuat mereka mengorbankan rasa kemanusiaan. Ada ketidakkonsistenan terkait pemberlakuan aturan agamawi ini ketika menyangkut kepentingan-kepentingan mereka pribadi. Yesus menolak cara beragama yang demikian. Ia mengajarkan kepada semua orang bahwa sudah semestinya kesalehan beragama justru menjadikan orang semakin memiliki kepedulian terhadap penderitaan yang dialami oleh saudara atau sesama mereka. Kepedulian harus diwujudkan dengan tetap menempatkan mereka sebagai subjek atau pribadi yang berharga.

Mendengar jawaban Yesus semua lawannya menjadi malu karena tidak dapat mempersalahkan Yesus di depan semua orang banyak. Sementara itu, semua orang banyak bersukacita, karena merekapun menanti-nantikan hal yang sama yaitu kepedulian dan pelepasan dari penderitaan mereka.

Allah terlebih dahulu telah berbuat, melakukan sesuatu yang amat besar dan berharga bagi manusia yaitu kasih-Nya yang mewujud di dalam karya penebusan. Kini Ia memanggil para umat tebusan-Nya untuk menjadi mitra-Nya, berbuat sesuatu bagi dunia. Jangan sampai refleksi kita akan kebaikan Allah hanya “mandheg” dalam diri kita. Fokus terhadap kesalehan pribadi kita. Refleksi iman kita akan kebaikan Allah harus disalurkan, dibagikan, diwujudkan bagi lingkungan di sekitar kita. Sehingga mereka pun bisa merasakan kasih Allah. Refleksi iman kita harus berdampak bagi perubahan dunia menuju kearah yang lebih baik. Untuk mewujudkan perubahan itu tidak dapat dilakukan dengan cara yang sekadarnya “pokoknya aku melakukan sesuatu”. Jalan keterlibatan perlu dilaksanakan dalam semangat kesetaraan, perbaikan hidup, memulihkan, memberdayakan dan melengkapi sejalan dengan cara hidup menggereja yang hendak diwujudkan oleh GKJ.menggereja yang hendak diwujudkan oleh GKJ.

Bagikan :



Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Agenda Kegiatan

Ibadah Minggu Online : Setiap Hari Minggu jam 08.00 WIB livestreaming di channel Youtube GKJ Wonosari Gunungkidul dan Radio Swara Dhaksinarga 89,9 FM

Persekutuan Doa Rabu Pagi : Setiap Hari Rabu jam 04.30 WIB di Gedung Gereja