Home » Renungan » Karya Roh di Ruang Publik

Karya Roh di Ruang Publik

Kisah Para Rasul 2:1-21

Susan B. Anthony (1820-1906), seorang pegiat hak-hak perempuan di Amerika Serikat, pernah memberikan komentar terkait dengan kehidupan beragama. Katanya, “Saya tidak percaya orang yang merasa tahu betul apa yang Tuhan ingin mereka lakukan, karena saya yakin itu selalu sesuai dengan keinginan mereka sendiri.” Apa yang dikatakan Anthony seringkali merujuk pada tindakan yang dilakukan seseorang atas nama kehendak Tuhan, atau yang lebih umum karena dianggap sebagai dorongan Roh Kudus. Bagi Anthony, orang yang sedemikian adalah orang yang memenjarakan Roh Kudus dalam keegoisannya. Orang yang semacam inilah yang mengerdilkan karya Roh dan mencuri kemuliaan Tuhan. Mereka adalah orang yang menghidupi semangat triumfalistik atau superioritas, yang menempatkan diri “lebih tinggi” dari semua. Semangat ini menghasilkan kehidupan beragama yang eksklusif, merasa bahwa hanya diri dan kelompoknya yang diberkati oleh Tuhan.

Padahal karya Tuhan melalui Roh Kudusnya tidak dapat dibatasi dan terjadi atas seluruh semesta. Justru karena itu, gereja dan orang-orang Kristen dipanggil bersama-sama dengan sesamanya –dalam segala perbedaan yang ada– untuk menghadirkan damai sejahtera (Yun: eirene) di dunia ini. Sebab karya Tuhan memang ditujukan kepada dunia. Dunia adalah tujuan kasih Allah (bdk. Yoh 3:16). Dengan demikian kehidupan beragama perlu semangat yang inklusif untuk bersama-sama berjuang menghadirkan damai sejahtera bagi semua.

Kisah Pentakosta adalah kisah di mana Allah bekerja meluluh-lantakkan semangat eksklusivitas yang menguasai umat manusia, sebagaimana yang secara metaforis dinampakkan melalui pembangunan menara Babel (Kej. 11). Pada bagian lain, karya Roh menyatukan umat manusia yang beragam itu dalam semangat inklusivitas, hingga pemahaman dan pengertian umat manusia dijembatani oleh bahasa yang sama (Kis. 2). Dengan bahasa yang sama itu, manusia dapat saling memperlengkapi hingga mampu membangun kehidupan yang adil dan sejahtera bagi semua. Ruang untuk membangun kehidupan bersama itu disebut dengan ruang publik.

Ruang publik, menurut Hannah Arendt, adalah ruang penampakan (space appearance) di mana orang dapat saling berinteraksi dengan percakapan (speech) dan tindakan (action). Di ruang publik itu, semua anggota masyarakat dapat terlibat secara setara, interaktif, dan rasional demi kehidupan bersama yang penuh dengan damai sejahtera. Di ruang itulah, gereja dan orang-orang Kristen terlibat aktif untuk membarui kehidupan. Khotbah Pentakosta ini diharapkan mampu menyadarkan peran gereja dan orang-orang Kristen di ruang publik yang bernama Indonesia demi tercapainya rencana agung Allah, yaitu damai sejahtera atas semua ciptaan-Nya.

Kisah Pentakosta adalah kisah di mana Allah bekerja meluluh- lantakkan semangat eksklusivitas yang menguasai umat manusia. Melalui kehadiran Roh Kudus, Allah membangun “jembatan bahasa” agar perbedaan yang ada terjembatani. Dengan jembatan bahasa itu, umat manusia dipanggil untuk membangun kehidupan yang penuh dengan damai sejahtera secara bersama-sama. Tindakan membangun bersama itu dilakukan di ruang publik, ruang bersama tempat berbagi harapan meraih masa depan yang penuh dengan damai sejahtera. Amin.

Bagikan :



Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Agenda Kegiatan

Ibadah Minggu Online : Setiap Hari Minggu jam 08.00 WIB livestreaming di channel Youtube GKJ Wonosari Gunungkidul dan Radio Swara Dhaksinarga 89,9 FM

Persekutuan Doa Rabu Pagi : Setiap Hari Rabu jam 04.30 WIB di Gedung Gereja