BANGKIT BAGI SEMUA
Tentu kita pernah mendengar atau menyanyikan lagu yang syairnya seperti ini:
Dia lahir untuk kami
Dia mati untuk kami
Dia bangkit untuk kami semua.
Biasanya kita mendengar atau menyanyikan lagu tersebut dengan penuh semangat dalam persekutuan jemaat. Menyanyikan lagu ini boleh-boleh saja dan baik-baik saja, asalkan dengan pemahaman yang benar. Persoalan lagu itu terletak pada interpretasi pada kata “kami” Siapa yang disebut “kami”? Jika “kami” bermakna seluruh umat manusia, tentu lagu ini secara teologis dapat dipertanggungjawabkan. Sebab Yesus sendiri mengatakan:
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal” (Yoh. 3:16).
Akan tetapi jika “kami” ditujukan pada sekelompok orang yang bernyanyi – atau dapat disebut “kita” – maka ada persoalan serius yang tengah terjadi dalam komunitas kita. Yaitu, sadar atau tidak, kita tengah menyempitkan karya kebangkitan Yesus hanya terbatas pada sekelompok orang tertentu, kelompok “kita”. Hiduplah kita dalam sekat yang membedakan secara tegas antara “kamu” dan “kita”. Sekat yang makin hari makin kaku dan menebal. Sekat yang membuat kita hanya berpikir bahwa karya kasih Tuhan ditujukan bagi sekelompok orang.
Mungkin kita masih ingat, gereja di Palu yang berdiri kokoh saat gempa hebat terjadi beberapa waktu lalu. Segera saja viral banyak komentar yang menyimpulkan bahwa Tuhan mengasihi umat-Nya. Hal itu terbukti melalui tetap kokohnya gereja itu berdiri. Sebuah pemikiran yang bukan hanya menyempitkan kasih Tuhan, tetapi juga menjadikan Tuhan sebagai sosok keji tak berperikemanusiaan pada kelompok lain.
Kisah Paskah dapat kita tatap dari sisi pengikisan cara berpikir sempit semacam itu. Injil Lukas mencatat dengan terang bahwa kesaksian kebangkitan pertama kali diperlihatkan pada para perempuan (Luk. 24:1-7). Tidak kebetulan ada catatan perempuan di sana. Sebab perempuan adalah kelompok termarginalkan (dikesampingkan/dipandang lebih rendah) pada waktu itu. Konon para laki-laki di zaman itu dididik untuk tidak memercayai kesaksian perempuan karena dianggap bodoh dan mudah tertipu. Kisah kejatuhan manusia dalam dosa yang dianggap karena ulah perempuan menjadi dasar pemikiran semacam itu. Dengan menghadirkan perempuan sebagai saksi kebangkitan, Yesus menghadirkan cara pandang yang baru. Yesus mau menegaskan bahwa para perempuan layak dipercaya dan mampu untuk menjadi saksi kebangkitan-Nya.
Para murid laki-laki, diwakili oleh Petrus, tidak percaya. Dalam teks dikatakan dengan tegas: “Tetapi bagi mereka perkataan-perkataan itu seakan-akan omong kosong dan mereka tidak percaya kepada perempuan-perempuan itu” (Luk. 24:11).
Konstruksi ketidak percayaan yang tertanam dalam benak para laki-laki, membuat mereka memandang para perempuan dengan kacamata negatif, sebagai pencipta hoaks. Konstruksi itu menyekat pikiran mereka. Sehingga mereka hanya melihat kebenaran dalam diri mereka sendiri. Syukurlah, lewat kisah kebangkitan Yesus cara pandang sempit semacam itu dirubuhkan.
Sekat Pencipta Kehidupan
Sekat yang membedakan manusia memang ada. Sebab setiap orang diciptakan dengan sekat. Salah satunya berupa identitas yang khas. Misalnya Adam dan Hawa, laki-laki dan perempuan, Jawa dan Tionghoa. Yang namanya identitas pastilah membedakan. Kita bisa menyimpulkan dengan tegas bahwa sekat yang membedakan manusia – baik secara personal maupun komunal – memang dihadirkan oleh Sang Pencipta.
Persoalannya, sekat itu makin hari makin tampak kokoh dan sulit dirubuhkan. Sekat telah berubah hakikat menjadi tembok tebal nan tinggi. Sekat tak lagi membedakan, melainkan memisahkan. “Kita” dan “kami” menjadi dua entitas hitam putih: salah-benar, baik-buruk, diberkati-dikutuk Tuhan, dan sejenisnya.
Dalam komunitas semacam itu, anggota didoktrin dengan kebenaran dalam diri dan komunitasnya serta ketidakbenaran komunitas lain. Komunitas semacam ini akan makin menguatkan tembok pembeda diri, yang kemudian mengerucut dalam kecurigaan, bahkan kebencian satu dengan yang lain. Tumbuhlah kehidupan yang diwarnai dengan nilai-nilai kematian. Yaitu nilai-nilai yang berusaha menghancurkan yang lain.
Tanpa sadar nilai-nilai kematian semacam itu juga merasuk dalam komunitas yang bernama gereja. Gereja memang dihadirkan dalam identitas yang khas. Salah satu yang terkenal adalah “garam dan terang dunia.” Identitas itu seakan melekat pada gereja dan menjadi sekat pembeda. Perlu ditegaskan lagi, bukan sekatnya yang salah, bukan identitasnya yang salah. Yang salah adalah ketika gereja melihat “garam dan terang dunia” itu semata-mata sebagai identitas, bukan tindakan kehidupan. Padahal “garam dan terang dunia” adalah cara hidup, bukan sekadar name tags.
Ketika gereja menempatkan diri sebagai “yang benar” dan yang di luar gereja adalah kegelapan penuh dosa, maka gereja menjadi “anti” komunitas lain. Di sini identitas yang muncul melalui simbol (seperti garam dan terang) justru menjadi idol, yang dituhankan. Sebagai makhluk simbolis, manusia memang membutuhkan simbol, namun bahayanya simbol (yang berakar kata sama dengan diabolos, kata Yunani yang diterjemahkan menjadi Iblis) justru dapat memperbudak manusia.
Jika memerhatikan kata “dunia” dalam kalimat “garam dan terang dunia” menunjukkan keberadaan gereja yang tak lepas dari dunia. Gereja ada bersama komunitas yang lain di dunia yang sama. Dengan kenyataan ini apakah sekat pembeda yang dibangun gereja sedemikian tebalnya sehingga gereja menjadi komunitas yang eksklusif? Di sini gereja perlu kembali mengingat hakikatnya yang dipanggil untuk berkarya di tengah dunia. Dalam jejak pengalaman Israel, sekalipun hidup sebagai bangsa jajahan, dinyatakan oleh Tuhan agar berkarya bagi semua:
“Usahakanlah kesejahteraan kota ke mana kamu Aku buang, dan berdoalah untuk kota itu kepada TUHAN, sebab kesejahteraannya adalah kesejahteraanmu” (Yer. 29:7).
Ketika terlibat membangun kota, pasti terjadi interaksi antar komunitas. Interaksi menyiratkan adanya kesaling-terpengaruhan. Justru dalam kesaling-terpengaruhan itu, komunitas menjadi bertumbuh dalam nilai-nilai kehidupan yang juga berupaya menumbuhkan yang lain.
Jika sekat berubah menjadi tembok tinggi dan tebal, sekali lagi, komunitas justru menghidupi nilai-nilai kematian. Sebab dalam komunitas semacam itu nilai-nilai yang menguasai adalah kebencian, kecurigaan, penguasaan, ketiadaan pengharapan (pada pihak lain), dan sejenisnya. Hidup dalam komunitas semacam ini, takkan pernah membuat anggota komunitas terbuka mindset-nya (pola pikirnya). Mereka selalu melihat yang lain sebagai lawan sehingga mewacanakan kecurigaan dan kebencian pada liyan. Sebaliknya nilai-nilai kehidupan dipenuhi dengan antara lain kerendahan hati, belarasa, dan sukacita. Dalam hal nilai kehidupan ini, setiap komunitas terbuka untuk mencari dasar yang sama bagi kehidupan yang lebih baik bagi semua.
Bangkit Memberi Kehidupan
Kebangkitan Yesus menunjukkan bahwa kematian bukan akhir karya Yesus. Kekristenan tidak memuja kematian (dan juga penderitaan) Yesus. Dengan kebangkitan Yesus, seluruh karya Yesus perlu dilihat dari perspektif kebangkitan. Perspektif kebangkitan diperjelas dengan pernyataan teks Lukas, “Mengapa kamu mencari Dia yang hidup di antara orang mati?” (Luk. 24:5). Yesus yang bangkit menunjukkan bahwa Ia mencintai kehidupan. Pada kesempatan lain Yesus berkata, “Aku datang supaya mereka mempunyai hidup, dan memilikinya dalam segala kelimpahan” (Yoh. 10:10). Yesus menghadirkan nilai-nilai kehidupan, bukan kematian. Mengimani Yesus berarti belajar menghadirkan nilai-nilai kehidupan.
Peristiwa Paskah memperjelas hal tersebut. Komunitas murid Yesus yang kehilangan pengharapan (sebagai bagian dari nilai kematian) merasakan kuasa kebangkitan Yesus yang menghidupkan pengharapan mereka (sebagai bagian dari nilai kehidupan). Lukas 24, bertutur tentang gambaran perjalanan orang yang kehilangan pengharapan. Mereka tengah berjalan menjauh dari Kristus, sumber kehidupan. Perjalanan itu digambarkan dalam lakon yang diperankan oleh Kleopas dan temannya. Seperti mereka yang berputus asa, kita juga kerap berjalan dalam keputusasaan. Perjalanan keputusasaan itu dinyatakan dengan jelas dalam kalimat kekecewaan “…kami dahulu mengharapkan, bahwa Dialah yang datang untuk membebaskan bangsa Israel” (Luk. 24:21).
Di tengah perjalanan keputusasaan itu Yesus hadir. Kehadiran Yesus tidak terlalu mengejutkan Kleopas dan temannya. Mungkin saja mereka menganggap Yesus salah seorang peziarah yang baru pulang kembali dari ibadah hari raya di Yerusalem. Catatan Injil menunjukkan bahwa kematian Yesus terjadi menjelang hari raya Paskah Yahudi. Jadi adalah wajar jika bertemu peziarah lain dalam perjalanan. Namun, di sini Yesus hadir sebagai orang asing yang terbuka, ramah, dan hangat. Keramahan “orang asing itu” membuat mereka juga mulai membuka diri. Prasangka buruk – yang biasanya muncul di awal perjumpaan – seakan luluh melalui keramahan orang asing itu.
Dialog pun terjadi. Dialog yang memberikan dampak yang besar.Dalam dialog semacam itu, yang menjadi fokus adalah Kleopas dan temannya. Itu sebabnya Yesus – Sang Pastor – meminta mereka mengungkapkan perasaan. Dengan sesekali mengajukan pertanyaan umpan-balik hingga dialog makin mendalam. Dampaknya ingatan akan ajaran-ajaran Yesus muncul kembali. Penginjil Lukas memberikan komentarnya: “Lalu Ia menjelaskan kepada mereka apa yang tertulis tentang Dia dalam seluruh Kitab Suci, mulai dari kitab-kitab Musa dan segala kitab nabi-nabi” (Luk. 24:27). Sungguh, perjalanan persahabatan yang mencerahkan.
Dampaknya, perjalanan itu menghasilkan kedekatan-persahabatan, yang ditandai dengan ajakan makan bersama agar perjumpaan yang menyenangkan itu tak segera pudar, “Tinggallah bersama-sama dengan kami” (Luk 24:29). Hal itulah yang membawa mereka pada kesadaran baru, “… terbukalah mata mereka dan merekapun mengenal Dia…” (Luk 24:31). Segera saja perubahan terjadi. Hati mereka yang tadinya diliputi keputusasaan berubah menjadi penuh semangat, berkobar-kobar hingga kembali ke Yerusalem untuk memberitakan kebangkitan Yesus. Yesus yang bangkit, membangkitkan semangat hidup mereka. Nilai kehidupan tengah ditaburkan lewat perjumpaan dengan Yesus yang hidup.
Kini gereja berada di tengah kehidupan yang makin disesaki dengan nilai-nilai kematian. Kebencian antar kelompok, ungkapan kasar antar pilihan kelompok pilihan politik, kerakusan harta yang membenamkan dalam korupsi akut, dan sebagainya adalah contoh gamblang. Di tengah keadaan itu akankah gereja membuka pintu, berdialog, dan mengobarkan semangat kehidupan bagi mereka yang berputus asa? Akankah gereja bersedia menjalin kedekatan-persahabatan dengan liyan? Ataukah gereja malah mengurung diri dalam sekatnya?
Dengan bersedia menjalin persahabatan yang hangat bagi semua, gereja menghadirkan diri menjadi semacam oase (sumber air di padang gurun). Seperti panggilan Yesus pada semua makhluk,:
“Marilah kepada-Ku, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah pada-Ku, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan” (Mat. 11:28-30).
Jika hal ini yang menjadi pilihan gereja, kebangkitan Yesus menjadi sangat berarti bagi semua. Umat manusia akan bernyanyi bersama:
Dia lahir untuk kita
Dia mati untuk kita
Dia bangkit untuk kita semua.
Sungguh benar, Ia mati dan bangkit bagi semua, agar dunia menjadi lebih baik