Home » Renungan » Rendah Hati Sebagai Gaya Hidup

Rendah Hati Sebagai Gaya Hidup

Lukas 14:1, 7-14

GKJ menghayati Bulan September sebagai Bulan Katekese Liturgi. Mengawali Bulan Katekese Liturgi ini warga GKJ diajak untuk menghayati tema perayaan iman “Tunjukkanlah Integritas, Bersikaplah Rendah Hati”. Tema ini sangat relevan untuk menolong setiap warga GKJ mewujudkan liturgi kehidupan di tengah kebersamaan sebagai satu bangsa besar yang majemuk. Liturgi tidak hanya berhenti pada ruang ibadah tetapi berlanjut dalam liturgi kehidupan nyata. Apalagi kita baru saja usai melaksanakan pesta demokrasi. Perbedaan pendapat, perbedaan pilihan dan perbedaan-perbedaan yang lain sering menjadi tantangan untuk mewujudkan kebersamaan ini. Ada godaan kecenderungan orang mengagungkan diri sendiri dan kelompok sebagai yang lebih unggul dibandingkan dengan yang lain. Oleh sebab itu penting bagi setiap orang untuk menjadikan sikap rendah hati sebagai gaya hidup. Tidak ada jalan lain selain bersikap rendah hati seorang terhadap yang lain, demi membangun kehidupan bersama yang beradab. Melalui ibadah ini umat diajak untuk mewujudkan hal tersebut.

Pembaca Injil Lukas disuguhkan pola narasi yang menarik dalam bacaan kita ini. Dalam terjemahan TB LAI, tindakan “mengamat-amati” yang dilakukan oleh orang-orang yang hadir di rumah pemimpin orang-orang Farisi tersebut, ditanggapi juga dengan tindakan “melihat” oleh Yesus (ayat 1 & 7). Pola ini menunjukkan adanya hubungan antara tindakan yang satu dengan yang lainnya. Pertama-tama semua orang “mengamat-amati” Yesus dengan saksama. Mengamat-amati dengan saksama berarti memfokuskan pandangan mata – kegiatan melihat secara detail dan terus menerus pada satu objek yang sama yaitu Yesus dan apa yang dilakukan-Nya.

Ada tiga kemungkinan alasan mereka melakukan hal tersebut yaitu: 1) Ketidaksukaan mereka terhadap Yesus; 2) Yesus dilihat sebagai orang yang tidak selevel dengan mereka, sehingga dianggap tak pantas ada di tengah-tengah mereka; 3) Mencari-cari kesalahan yang dilakukan oleh Yesus. Pada kenyataannya mereka tidak dapat menemukan kesalahan apapun dalam tindakan yang dilakukan oleh Yesus.

Selanjutnya dalam ayat 7, TB LAI menuliskan tindakan yang sama ternyata juga dilakukan oleh Yesus. Perbedaannya terdapat pada pemakaian kata yang lebih halus (“melihat”). Sebagai catatan, terjemahan TB LAI ini didasarkan pada makna tersirat yang terkandung dalam teks. Mengingat bahwa dalam bahasa aslinya tidak dituliskan secara langsung. Hal ini menunjukkan bahwa tindakan “melihat” yang dilakukan oleh Yesus merupakan tindakan biasa, melihat karena sekedar melihat. Melihat bukan dengan tujuan secara sengaja mengamat-amati untuk mendapatkan sesuatu.

Perbedaan selanjutnya antara tindakan yang dilakukan oleh orang banyak dengan yang dilakukan oleh Yesus adalah bahwa, tindakan orang banyak tersebut justru tidak menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan yang diharapkan (menemukan kesalahan Yesus). Sementara melalui tindakan “melihat”nya, Yesus mendapati sesuatu yang penting terkait kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang Farisi. Kebiasaan itu ialah 1) Dalam suatu perjamuan ada kebiasaan dari mereka untuk berlomba-lomba menduduki tempat-tempat terhormat; 2) sementara tuan rumah memiliki kebiasaan mengundang orang-orang yang dianggapnya penting (sahabat, keluarga, orang yang memiliki jabatan, dll). Hal ini menjadi kesempatan bagi Yesus untuk menegur dan mengajar mereka.

Pertama, kehormatan tidak didapatkan berdasarkan pengakuan diri sendiri melainkan oleh pengakuan orang lain. Tanpa dibuat-buat, tanpa menonjolkan diri, tanpa mencari-caripun, kehormatan orang terhormat akan tetap melekat pada dirinya sendiri dan diakui oleh orang lain. Justru ketika orang mengagungkan dirinya dan kehormatannya, orang tersebut akan kehilangan kehormatannya. Kedua, banyak orang merasa terhormat tatkala mengundang orang-orang penting dalam perjamuan mereka. Namun demikian, menurut Yesus mereka justru tidak akan mendapatkan kehormatan itu, karena orang-orang yang diundang itupun dapat melakukan hal yang sama, bahkan mungkin dapat menjamu dengan jauh lebih baik. Sementara ketika orang mengundang orang-orang miskin, lapar dan terpinggirkan, mereka tidak akan dapat membalasnya. Dengan demikian orang-orang tersebut akan menaruh rasa hormat yang jauh lebih besar terhadap orang-orang dermawan seperti ini. Kehormatan justru diperoleh tatkala seseorang mampu menerima semua orang menjadi bagian hidupnya. Kehormatan oleh karena manusia mampu untuk memanusiakan yang lain.

Ada ungkapan dalam kultur Jawa yang berbunyi demikian: “Mikul dhuwur mendhem jero”. Secara harafiah berarti “anak yang bisa menjunjung tinggi harkat, martabat dan derajat orangtua”. Memang peribahasa ini secara khusus berbicara soal prinsip hormat anak kepada orangtua. Namun demikian menurut hemat saya tidak ada salahnya juga ungkapan di atas kita pakai secara luas untuk menghayati relasi kita dengan sesama di tengah maraknya nilai sopan santun, rasa hormat menghormati yang semakin terkikis. Dewasa ini banyak sekali orang yang mencoba untuk mendapatkan kehormatannya dengan cara-cara yang tidak menghargai keberadaan orang lain malahan cara-cara yang merendahkan dan menjatuhkan orang lain. Seperti yang juga sering kita lihat dan kita dengar melalui media elektronik, media cetak maupun media sosial bahwa hal-hal semacam ini biasanya justru dilakukan oleh orang-orang yang berkedudukan tinggi. Penting untuk menghentikan segala bentuk tindakan yang merendahkan harkat dan martabat orang lain. Sebaliknya kita perkuat dan budayakan tindakan-tindakan yang menjunjung tinggi harkat martabat orang lain. Rendah hati merupakan sikap prinsip hidup yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia.

Bagikan :



Leave a comment

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Agenda Kegiatan

Ibadah Minggu Online : Setiap Hari Minggu jam 08.00 WIB livestreaming di channel Youtube GKJ Wonosari Gunungkidul dan Radio Swara Dhaksinarga 89,9 FM

Persekutuan Doa Rabu Pagi : Setiap Hari Rabu jam 04.30 WIB di Gedung Gereja